Ratifikasi Statuta Roma Tergantung Kesiapan Pemerintah
Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin mengatakan mandeknya proses ratifikasi Statuta Roma bukan karena tersendatnya pembahasan di DPR tetapi karena pemerintah belum menyerahkan draf akademisnya. Ia meyakini apabila draf sudah masuk, DPR akan segera memulai pembahasannya.
"Orang selalu men-stigma DPR yang tidak mengesahkan padahal tidak begitu. Proses ratifikasi baru dimulai apabila pemerintah menyampaikan naskah akademis, sama dengan proses membuat undang-undang tetapi term-nya lebih singkat karena pasal yang dibahas tidak banyak," katanya kepada wartawan disela-sela acara Round-Table Discussion on the International Criminal Court di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/13).
Dalam diskusi yang dihadiri Presiden PGA - Parliamentarians for Global Action Ross Robertson muncul wacana agar proses ratifikasi dialihkan menjadi hak inisiatif DPR. Menurut Aziz kemungkinan itu sulit dilakukan karena persiapannya akan sangat panjang sementara waktu terbatas. Apalagi lanjutnya Komisi III saat ini sedang fokus membahas 4 RUU yaitu, KUHAP, KUHP, Kejaksaan dan MA.
"Ratifikasi statuta ini tidak perlu masuk prolegnas, jadi bisa nyelip kapan saja. Begitu pemerintah siap dengan draf, jalan kita. Asal jangan dimasukin dalam masa reses, ya gak jalan juga," imbuhnya.
Politisi Partai Golkar ini menyebut rangkaian diskusi mengenai persiapan ratifikasi sudah sering diikutinya namun langkah konkrit dari pemerintah sejauh ini belum kelihatan. Dalam Round-Table Discussion dengan PGA, jaringan anggota parlemen dari 130 negara, dorongan agar Indonesia meratifikasi Statuta Roma kembali mengemuka.
Statuta Roma yang disahkan 17 Juli 1998 merupakan dasar terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang mengatur kewenangan mengadili kejahatan yang menjadi perhatian internasional, seperti kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. (iky)/foto:iwan armanias/parle.